BerAKHLAK : Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif.

ARTEMISININ

PENGEMBANGAN METODE

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI UNTUK ANALISIS ARTEMISININ DALAM SIMPLISIA DAUN ARTEMISIA ANNUA L.

Oleh : Ir. Dian Nurdiani, M.Si

Widyaiswara PPPPTK Pertanian Cianjur

ABSTRAK

Artemisinin merupakan zat aktif yang mempunyai efek terapi sebagai obat antimalaria yang dapat memutus rantai siklus hidup parasit dalam sel darah merah. Artemisinin adalah senyawa golongan seskuiterpen lakton yang mengandung jembatan peroksida dan efektif dalam kerja obat. Artemisinin diperoleh dari tanaman Artemisia annua L. yang banyak dipakai dalam pengobatan tradisional China untuk demam dan malaria dengan nama qinghaosu (arteannuin).

Kandungan artemisinin dalam  tanaman  artemisia jumlahnya sangat rendah, oleh karena itu untuk analisis artemisinin dalam simplisia daun Artemisia annua L., dan ekstrak daun Artemisia annua L.  memerlukan metode analisis yang cukup sederhana, selektif dan sensitif untuk pemisahan dan pendeteksian artemisinin dari komponen lain. Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode analisis kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk analisis artemisinin dalam simplisia daun Artemisia annua L. dan ekstraknya.

Artemisinin dianalisis dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi dengan fase gerak acetonitril-air (60 : 40), laju alir 1,2 mL/menit, suhu kolom dijaga 40 ºC dan panjang gelombang deteksi 216 nm.

Artemisinin  pada rentang konsentrasi 5 sampai 30 μg/mL menunjukkan hubungan antara konsentrasi artemisinin dengan luas puncak kromatogram merupakan garis linier dengan persamaan y = 0,6224x + 3,1204 dengan koefisien korelasi (r) 0,9935 dan koefisien variasi regresi (Vx0) = 4,32%. Artemisinin diekstraksi dari simplisia daun  Artemisia annua L. menurut prosedur dari pustaka, kemudian dianalisis dengan teknik KCKT fase balik. Hasil validasi metode menunjukkan simpangan baku relatif pengukuran kurang dari 5,0%, perolehan kembali artemisinin adalah 99,77 ± 1,48% pada penambahan artemisinin        10-20 μg/g dengan batas deteksi 2,27 μg/mL dan batas kuantisasi 7,57 μg/mL.

Kata kunci :  Artemisinin, simplisia, KCKT

I.  PENDAHULUAN

Artemisinin merupakan salah satu alternatif obat malaria yang telah digunakan di berbagai negara di dunia, terutama di Afrika dan Asia. Departemen Kesehatan telah lama mengimpor obat antimalaria dari China yang merupakan kombinasi derivat artemisinin seperti kombinasi antara artesunate dan amodiaquine tablet untuk pengobatan Malaria falciparum tanpa komplikasi serta injeksi Arthemether untuk pengobatan malaria berat. Obat ini efektif dan efisien untuk penanggulangan malaria di China dan Vietnam.

Tanaman Artemisia annua L. selain mengandung   artemisinin, juga mengandung senyawa lain diantaranya artesunat, artemeter, asam artelinik, dan dihidroartemisinin yang sangat efektif terhadap Plasmodium falcifarum, namun jumlahnya jauh lebih kecil.

Kandungan artemisinin dalam tanaman bervariasi antara 0,1 � 1,8%. Hasil kultivasi di Vietnam kadar artemisinin dapat mencapai 0,5 � 0,9%. Saat ini WHO merekomendasi penggunaan artemisinin untuk pengobatan malaria yang dikombinasikan dengan obat lain yang disebut pengobatan Artemisinin based Combination Therapy (ACT), karena berdasarkan pengalaman sebelumnya telah terjadi resistensi pada Plasmodium terhadap beberapa jenis obat malaria (Peter, 2006).

Analisis artemisinin dalam bahan baku  farmasi  maupun sediaannya secara KCKT dengan menggunakan detektor UV dan kolom C-18 telah digunakan oleh The Internasional Pharmacopoeia. Metode analisis untuk mengetahui jumlah artemisinin dalam simplisia daun dan ekstraknya, secara langsung sampai saat ini belum ada. Oleh karena itu dalam rangka memeriksa kualitas simplisia daun Artemisia annua L. yang dihasilkan para petani untuk mensuplai produsen artemisinin diperlukan metode analisis yang sensitif dan selektif mengingat kadar artemisinin dalam tanaman Artemisia annua L. sangat rendah.

Dalam tulisan ini bertujuan untuk mengembangkan metode analisis artemisinin dalam  simplisia daun Artemisia annua L. dan ekstrak daun Artemisia annua L.  menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT/HPLC).

  

II. SEKILAS TENTANG ARTEMISININ

2.1. Tanaman Artemisia annua L.

Artemisia annua L. merupakan tanaman  subtropis yang di China dikenal dengan sebutan  qinghao. Di Amerika Serikat dikenal dengan nama sweet annie atau wormwood dan di Jawa disebut Anuma. Klasifikasi tanaman  Artemisia annua L. adalah Divisi: Spermatophyta, Sub divisi: Angiospermae, Kelas: Dikotyledoneae, Bangsa: Asterales, Suku: Asteraceae, Marga: Artemisia, Jenis: Artemisia annua L.

Tanaman Artemisia annua L. seperti pada Gambar 1.1 bentuknya terna dan tingginya berkisar 30 � 100 cm; memiliki batang tegak dan berwarna hijau kecoklatan;  daun: majemuk, bentuk oval, ujung runcing, warna hijau; bunga: majemuk, bentuk tandan, terletak di ujung batang, kelopak hijau, berbentuk bintang, warna kuning muda; biji: berbentuk lanset, kecil, dan berwarna coklat; akar: serabut, berwarna putih kekuningan. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran pada ketinggian 800 sampai 2.300 m di atas permukaan laut. Tanaman artemisia umumnya dipanen pada umur lima bulan. Masa panen terbaik dilakukan antara pembentukan kuncup bunga dan pembungaan awal.

Perbanyakan tanaman artemisia dapat dilakukan secara generatif melalui bijinya yang dipanen pada tanaman berumur sekitar 13 minggu (4-5 bulan). Benih pada umumnya di semai dan dipelihara di bedengan pesemaian. Setelah berumur 40-50 hari (telah mencapai 15-20 cm) bibit ditanam di lapangan. Pemupukan dilakukan dua kali. Pemupukan pertama dilakukan pada umur dua minggu setelah tanam dan pemupukan kedua dilakukan satu bulan sebelum panen, masing-masing dengan dosis 90-110 kg N/ha. Kadang-kadang pemupukan dilengkapi dengan pupuk P dan K. Jarak tanam tergantung kebutuhan. Jika ditanam ditanam dengan jarak 30 � 60 cm (populasi tanaman 55.000 per ha) akan menghasilkan sekitar 85 kg minyak atsiri atau 30 ton terna basah per ha atau setara dengan 3 ton terna kering per ha.

Hasil penelitian tahun 1972 di China telah menemukan bahwa tanaman Artemisia annua L. mengandung senyawa aktif utama yaitu artemisinin, sedangkan senyawa lainnya adalah artesunate dan artemether yang  efektif terhadap Plasmodium falciparum, meskipun kandungannya jauh lebih kecil. Dalam �Chinese Handbook of Prescriptions for Emergency Treatments,� yang dicetak tahun 340 sebelum Masehi, orang China menggunakan untuk mengobati demam.

Gambar 1. 1  Tanaman Artemisia annua L.

Kandungan artemisinin dalam tanaman Artemisia annua L. bervariasi antara 0,1-1,8%. Hasil kultivasi tanaman tersebut di Vietnam kadar artemisinin dapat mencapai 0,5-0,9%. Produksi terna kering berkisar antara 1,5-4 ton/ha dengan kadar artemisinin 0,3-0,6%. Daun artemisia mengandung sekitar 89% dari total artemisinin yang terkandung pada tanaman yang tersebar di 1/3 daun bagian atas (41,7%); 1/3 bagian tengah (25%) dan 1/3 bagian bawah (22,2%). Pada bunganya kandungan artemisinin cukup tinggi, bahkan dapat disetarakan dengan daun (Peter, 2006)

Selain mengandung bahan aktif artemisinin, tanaman Artemisia annua L. mengandung minyak atsiri yang bersifat mudah menguap, salah satu komponen utamanya adalah thujone (70%). Fungsi thujone bersifat  antioksidan, dan juga mempunyai efek antimikroba dan antijamur. Di Eropa minyak atsiri  thujone digunakan sebagai bahan aromatika (untuk industri parfum), ataupun dengan memanfaatkan aroma daunnya sebagai pewangi minuman, bahkan minyak atsirinya dicampurkan dengan minuman bir ataupun minuman lainnya seperti wiski yang berfungsi pula sebagai aphrodisiak (pembangkit gairah seksual) ataupun tonik (Jenick, 1996).

2.2  Sifat Fisikokimia Artemisinin

Artemisinin  (C15H22O5) dengan struktur  molekul seperti pada Gambar 1.2, mempunyai berat molekul 282,3 gram/mol, berbentuk kristal berwarna putih dan memutar bidang polarisasi  dengan nilai rotasi +75� sampai +78�.  Artemisinin tidak larut dalam air, tetapi larut dalam etil asetat, asam asetat glasial, metanol dan etanol; memiliki titik leleh pada suhu kisaran 151-154 �C. Artemisinin termasuk dalam kelompok senyawa seskuiterpen lakton, bukan alkaloid atau amina seperti pada kuinin. Struktur molekul artemisinin mengandung jembatan peroksida. Struktur jembatan peroksida ini dipercaya menentukan kerja sebagai obat (The International Pharmacopoeia, 2006).

Gambar  1.2  Struktur kimia artemisinin

Artemisin diperoleh dari hasil ekstraksi daun kering (simplisia kering) dengan n-heksan.    Pemakaian artemisia pada dosis yang tepat dan pada jangka pendek sangat bermanfaat, tetapi bila digunakan dalam jangka panjang harus hati-hati karena dapat berdampak negatif terhadap pengguna.  Selain itu, artemisia sudah digunakan selama lebih dari 30 tahun di Vietnam dan China untuk menanggulangi kanker. Dosis optimal artemisinin untuk mengobati penderita malaria adalah 50-70 mg per kg berat badan setiap hari yang dikonsumsi dua kali sehari, dan diberikan selama 3 hingga 5 hari, terbukti efektif menanggulangi malaria (Jenick, 1996).

Efek samping dari penggunaan artemisia sebagai obat malaria belum banyak ditemukan, tetapi diketahui artemisinin dapat meningkatkan produksi asam lambung, sehingga perlu hati-hati bagi pasien penderita gangguan pencernaan.

WHO merekomendasikan penggunaan artemisia, karena telah terjadi resistensi pada plasmodium terhadap beberapa jenis obat malaria seperti kinin yang berasal dari tanaman kina, bahkan saat ini  mulai berkembang menjadi resisten terhadap  klorokuin. Lebih     dari 50 negara telah mengikuti rekomendasi WHO tersebut dalam penanggulangan penyakit malaria dengan menggunakan artemisinin yang diperoleh dari tanaman Artemisia annua L., dan penggunaannya secara kombinasi dengan bahan lain (Artemisinin-based Combination Therapies/ACTs) (Peter, 2006).

 

III. KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Kromatografi merupakan teknik pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu sampel yang dibawa oleh fase gerak berupa cairan yang melewati fase diam berupa padatan atau cairan dengan pendukung padatan. Keberhasilan pemisahan pada kromatografi tergantung pada kekuatan interaksi komponen-komponen yang terdapat dalam sampel dengan fase diam dan fase gerak. Komponen yang afinitasnya tinggi terhadap fase diam akan tertahan lebih lama. Pemisahan komponen dalam sampel tersebut didasarkan pada mobilitas karena perbedaan adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau muatan ion.

Kromatografi cair kinerja tinggi adalah kromatografi cair modern, dimana prinsip dasarnya merupakan pengembangan dari prinsip kromatografi cair kolom klasik.  Kemajuan dalam teknologi kolom, pompa tekanan tinggi dan detektor yang peka telah menyebabkan perubahan kromatografi cair kolom menjadi suatu sistem pemisahan yang cepat dan efisien. KCKT memperkenalkan penggunaan fase diam dengan ukuran diameter kecil (3�5 μm) dengan memerlukan sistem pompa yang bertekanan tinggi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan tekanan tinggi agar  tercapai laju alir 1-2 mL/menit. KCKT biasanya digunakan untuk menganalisis senyawa organik dan anorganik yang tidak dapat menguap.

Pada kromatografi cair, pelarut atau fase gerak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemisahan. Berbagai macam pelarut dapat dipakai dalam sistem KCKT, tetapi ada beberapa sifat yang diinginkan yang berlaku umum. Fase gerak haruslah : (a) murni, tanpa cemaran, (b) tidak bereaksi dengan kolom, (c) sesuai dengan detektor, (d) dapat melarutkan cuplikan, (e) mempunyai viskositas rendah, (f) memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan dan (g) harganya wajar (Ibrahim 1998 ).

 

IV.  PENGEMBANGAN METODE ANALISIS

Pengembangan metode analisis secara KCKT terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi tahap awal pengembangan metode, optimasi, dan validasi.

4.1  Tahap Karakterisasi Analit

Karakterisasi analit dapat mencakup pengumpulan informasi tentang analit dan sifat fisikokimia meliputi struktur, toksisitas, kemurnian, higroskopisitas, stabilitas dan cara penyimpanan.

4.2  Tahap Penilaian Kebutuhan Metode

Kebutuhan metode  merupakan tujuan atau target metode yang akan dikembangkan, diantaranya meliputi batas deteksi, selektivitas, linieritas, rentang, kecermatan dan keseksamaan. Faktor yang perlu dipertimbangkan meliputi waktu, biaya dan tenaga, ketersediaan instrumentasi, dan biaya per analisis.

4.3Tahap Memilih Metode

Jika mungkin melakukan adaptasi sehingga lebih efisien, dan/atau dengan memodifikasi metode yang sudah ada. Adaptasi dapat mencakup kondisi preparasi maupun kondisi instrumentasi. Jika tidak terdapat metode untuk analit yang sama maka dapat dipilih analog senyawa yang sama yang mempunyai sifat yang sama.

Menyiapkan analisis dengan instrumen sesuai dengan prosedur operasional baku alat, diusahakan menggunakan bahan habis pakai  dan menggunakan yang baru seperti penyaring dan pelarut. Analisis dimulai dengan mencoba sesuai kondisi analisis yang ada pada pustaka. Hasil percobaan pendahuluan selanjutnya dikaji ulang.

4.5  Tahap Optimisasi

Proses optimasi dilakukan jika hasil studi pendahuluan jauh dari yang diharapkan, dalam hal ini untuk mencari aras-aras yang optimum, dengan cara mengubah parameter-parameter yang mempengaruhi analisis sampai diperoleh kondisi paling baik. Harus dipastikan kondisi analisis dapat sesuai untuk pemakaian analit dalam matriks.

4.6  Tahap Unjuk Kerja Metode dengan Larutan Baku

Unjuk kerja dilakukan dengan metode yang sudah dioptimasi sebelum ke sampel yang sebenarnya. Unjuk kerja metode diuji dengan larutan baku, meliputi batas deteksi, batas kuantisasi, linieritas, biaya per analisis, penyiapan sampel. Unjuk kerja metode KCKT dapat juga dengan memastikan homogenitas senyawa pada puncak dimaksud misalnya dengan detektor Photo Diode Array, spektrometri massa, atau spektrometri inframerah.

4.7  Tahap Validasi Metode

Validasi metode dapat mengacu pada parameter-parameter validasi pada pustaka. Metode yang sudah divalidasi selanjutnya dapat ditulis sebagai protokol analisis. Jika diperlukan metode diuji kolaborasi dengan beberapa laboratorium yang mempunyai kreteria tertentu (Swartz dan Krull, 1997)

 

V. VALIDASI METODE ANALISIS

Validasi metode analisis adalah suatu proses penetapan suatu syarat analitik, dan mengkonfirmasikan bahwa suatu metode memiliki kemampuan kinerja yang konsisten dengan apa yang menjadi keperluan aplikasi berdasarkan suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Validasi dilakukan melalui proses  yang berurutan sesuai dengan uji kesesuaian sistem untuk memperoleh hasil analisis yang handal. Tujuan validasi adalah untuk menjamin bahwa metode analisis yang digunakan mampu memberikan hasil yang cermat dan handal sehingga dapat dipercaya. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan  adalah sebagai berikut :

5.1  Kecermatan (accurasi)

Kecermatan metode analisis adalah ukuran kedekatan hasil analisis suatu metode dengan kadar sampel yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persentase perolehan kembali (recovery) dari penambahan sejumlah analit pada sampel. Kecermatan ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode penambahan baku (standar addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni (senyawa pembanding kimia CRM atau SRM) ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo), lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang sebenarnya. Dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang diperiksa ditambahkan ke dalam sampel dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya. Kriteria kecermatan sangat tergantung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel, seperti Tabel 1.1. Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. Presentase prolehan kembali dapat dihitung sebagai berikut. :

Tabel 1.1  Kriteria Kecermatan Berdasarkan Konsentrasi Sampel dalam Matriks.

Analit dalam Matriks (%)         Rataan Perolehan (%)
100 98 � 102
� 10 98 � 102
� 1 97 � 103
� 0,1 95 � 105
� 0,01 90 � 107
0,000,1 (1 ppm) 80 � 110
0,0000,1 (100 ppb) 80 � 110
0,00000,1 (10 ppb) 60 � 115
0,000000,1 (1 ppb) 40 � 120

Pustaka : Harmita, 2004, Ibrahim, 2001

 

5.2  Keseksamaan (Precision)

Keseksamaan adalah derajat kesesuaian sekelompok hasil analisis secara individual jika suatu metode digunakan secara berulang terhadap beberapa sampel yang homogen.  Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulangkali oleh analis yang sama pada kondisi yang sama dan dalam interval waktu yang pendek. Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Biasanya analisis dilakukan dalam laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut dan analis yang berbeda pula.

Keseksamaan dapat ditentukan paling sedikit enam sampel yang diambil dari campuran sampel dengan matriks yang homogen, atau tiga konsentrasi analit dalam rentang tertentu dengan masing-masing tiga replikasi. Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan koefisien variansi 2% atau kurang, tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel dan kondisi laboratorium (Harmita, 2004, Ibrahim, 2001). Keseksamaan dinyatakan sebagai simpangan baku (SB) atau simpangan baku relatif (SBR) atau koefisien variasi (KV).

5.3  Spesifitas dan Selektivitas 

Spesifitas suatu metode analisis adalah kemampuan untuk mengukur analit secara cermat dan spesifik dengan keberadaan komponen lain yang diperkirakan ada dalam matriks sampel.   Selektivitas seringkali dinyatakan sebagai derajat bias  terhadap hasil uji yang diperoleh dengan menganalisis sampel yang mengandung cemaran, hasil peruraian produk, senyawa kimia  sejenis atau bahan tambahan placebo yang sengaja ditambahkan, kemudian  dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan. Sedangkan selektifitas adalah kemampuan metode memberikan sinyal analit pada campuran analit dalam sampel tanpa adanya pengaruh matriks (Ibrahim, 2005).

5.4  Linieritas dan Rentang Linieritas

Linieritas metode analisis adalah kemampuan metode analisis untuk mendatangkan hasil pengujian (respon) yang secara langsung atau dengan bantuan transpormasi matematika, sebanding dengan konsentrasi analit dalam sampel. Kelinieran suatu metode harus diuji untuk membuktikan adanya hubungan linier antara konsentrasi analit dengan respon instrumen. Rentang linieritas metode analisis adalah interval antara nilai tertinggi dan terendah dari analit   yang sudah ditunjukkan dengan kecermatan, keseksamaan dan lineritas yang dapat diterima. Syarat linieritas dapat ditentukan dari koefisien korelasi (r) yang mendekati  sama dengan satu. Perhitungan persamaan garis linier menggunakan :

Dimana :  y  adalah variabel terukur yaitu respons instrumen, a adalah intersept yang dapat bernilai positif  atau negatif, b adalah kemiringan garis kurva kalibrasi (slope), r adalah koefisien korelasi, xi  dan yi  adalah koordinat masing-masing titik sedangkan x dan y masing-masing adalah rataan nilai x dan y.

Funk dan kawan-kawan menggunakan koefisien variansi fungsi regresi (Vxo) untuk menguji kelinieran suatu metode yang dihitung berdasarkan rumus :

5.5       Batas deteksi dan batas kuantisasi

Batas deteksi (BD) adalah konsentrasi analit terkecil pada sampel yang dapat terdeteksi, tapi tidak secara baik terkuantisasi pada kondisi percobaan. Batas kuantisasi (BK) adalah konsentrasi analit terkecil yang dapat dikuantisasi secara cermat dan seksama. Batas deteksi dan batas kuantisasi metode perlu ditentukan kalau metode tersebut digunakan untuk menganalisis sampel yang mengandung analit berkadar rendah. Biasanya suatu metode akan dipilih jika batas deteksinya sepersepuluh dari batas konsentrasi yang diperbolehkan.

Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen, batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen, batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blangko.

Menurut Miller dan Miller (1991), batas deteksi dan kuantisasi dapat ditaksir dari kurva kalibrasi, dan untuk menghitung batas deteksi dan kuantisasi dengan rumus :

dimana Sy/x adalah simpangan baku garis linier dan b adalah  kemiringan garis.

 

VIII.  HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Pengembangan metoda analisis kualitatif dan kuantitatif artemisinin secara kromatografi cair kinerja tinggi berdasarkan sifat fisikokimia artemisinin. Sampel artemisinin dilarutkan dalam pelarut campuran asetonitril-air (6 : 4), karena artemisinin larut dalam pelarut tersebut. Pendeteksian artemisinin dilakukan pada panjang gelombang 216 nm, karena artemisinin mempunyai absorpsivitas yang cukup pada panjang gelombang tersebut.  Penyaringan dengan membran berpori 0,2 μm dimaksudkan  untuk memisahkan partikel-partikel yang tidak larut.

Kolom diatur pada suhu 40 �C, hal ini bertujuan untuk  meningkatkan keseksaman pengukuran, memperbaiki pemisahan, menjaga keterulangan waktu retensi dan meruncingkan puncak, selain itu dapat meningkatkan efisiensi kolom dan menurunkan tekanan pompa.

Sistem KCKT yang dipakai adalah sistem  fase balik dengan menggunakan kolom C-18, di mana fase diam merupakan cairan berpendukung padat yang relatif nonpolar, sedangkan fase gerak berupa larutan yang lebih polar. Artemisinin mempunyai kepolaran sedang dan akan terpartisi antara fase diam dan fase gerak dalam sistem kromatografi ini. Diperlukan fase gerak yang lebih polar untuk mempercepat waktu elusi artemisinin sehingga artemisinin dapat terdistribusi cukup pada fase gerak.

Pada kromatogram hasil uji perbandingan komposisi fase gerak, terlihat bahwa makin banyak bagian nonpolar (asetonitril), maka waktu retensi semakin kecil, bentuk puncak semakin baik, tetapi akibatnya puncak artemisinin semakin dekat dengan puncak pengotor. Sebaliknya jika komposisi bagian polar (air) lebih banyak, waktu retensi semakin besar dan puncak artemisinin lebih jauh dari puncak pengotor, dan puncak artemisinin semakin tailing. Komposisi fase gerak yang terbaik dalam percobaan ini adalah asetonitril : air    (60 : 40) dengan volume penyuntikan 20 μL, di mana pada komposisi ini puncak artemisinin dapat terpisahkan dengan baik.

Dari hasil optimasi laju alir, terlihat bahwa pada laju alir 0,5 mL/menit puncak artemisinin dapat terpisah jauh dari pengotor namun bentuk puncaknya tailing. Pada laju alir fase gerak 1,5 mL/menit puncak artemisinin semakin baik, tetapi waktu retensi kecil dan dekat dengan pengotor. Laju alir yang paling baik dalam percobaan ini adalah 1,2 mL/menit seperti terlihat pada Gambar 4.1 dengan waktu retensi 8,5 menit.


Gambar 4.1  Kromatogram larutan baku artemisinin 1000 μg/mL menggunakan  fase fase gerak asetonitril : air (60 : 40), laju alir 1,2 mL/menit dengan panjang gelombang deteksi 216 nm.

Hasil uji kesesuaian sistem KCKT dengan cara penyuntikkan berulang larutan baku artemisinin dirangkum pada Tabel 4.1. Hasil tersebut menunjukkan metode baik dengan simpangan baku relatif dari waktu retensi dan luas puncak lebih kecil dari 2,0%, yaitu masing-masing 1,26% dan 1,01% yang menunjukkan presisi sistem cukup baik dan dapat dipakai untuk penetapan kadar artemisinin dalam sampel hasil ekstraksi. Dari Tabel 4.1 terlihat jumlah lempeng teoritis (N) yang dapat dihitung untuk artemisinin adalah 36836. Nilai tersebut lebih besar dari batasan normal (N > 10.000) yang berarti keefisienan kolomnya tinggi. Faktor ikutan (T) merupakan ukuran kesimetrisan suatu kromatogram. Untuk kromatogram yang memiliki T sama dengan satu (T = 1), berarti kromatogram tersebut benar-banar simetris, dan jika harga T > 1 berarti kromatogram tersebut mengekor (tailing), maka semakin besar harga T kolom yang dipakai makin tidak efisien. Nilai faktor ikutan yang diperoleh adalah 0,75 yang menggambarkan kromatogram yang diperoleh masih dapat diterima untuk tujuan analisis kualitatif dan kuantitatif. Disamping itu, dengan waktu retensi artemisinin sekitar 8,5 menit, waktu analisis bisa cepat.

Tabel 4.1  Hasil Uji Kesesuaian Sistem

No Suntikan mAU Waktu Retensi (menit) Jumlah Lempeng Teoritis (N) Asimetri

(T)

1 21,22 8,42 36835,9 0,77
2 21,39 8,27 35244,1 0,71
3 21,45 8,23 36192,3 0,74
4 21,53 8,37 36669,3 0,75
5 21,68 8,52 38362,0 0,75
6 21,83 8,35 36217,9 0,75
Rataan 21,52 8,36 36835,9 0,75
SB  0,22 0,11
SBR (%)  1,01 1,26

Data hasil pengujian linieritas seperti dirangkum dalam Tabel 4.2,  menghasilkan kurva kalibrasi  dengan  persamaan  garis  linier y = 0,6224x + 3,1204, dengan koefisien korelasi (r) = 0,9935, dan koefisien variasi fungsi regresi (Vx0) = 4,32% (Gambar 4.2). Uji linieritas ini dilakukan untuk mengetahui proposionalitas hubungan antara konsentrasi sampel dengan respon detektor pada rentang konsentrasi tertentu. Dari persamaan garis linier, diperoleh nilai kemiringan  0,6224,  dimana secara relatif nilai ini merupakan ukuran sensitivitas metode.                 

Tabel 4.2  Hasil Pengujian Linieritas

 Larutan Baku Konsentrasi Rataan luas puncak
( �g/mL) (mAU)
1 5,0   6,67
2 10,0   9,21
3 15,0 11,87
4 20,0 15,29
5 25,0 19,36
6 30,0 21,68

Keterangan :  n  =  3

Dari kurva hasil pengujian linieritas dapat ditentukan batas deteksi (BD) dan batas kuantisasi (BK) menurut perhitungan Miller dan Miller. Batas deteksi adalah konsentrasi sampel terkecil yang memberi sinyal instrument yang berbeda secara nyata dari sinyal blanko dan sinyal latar belakang. Hasil perhitungan menunjukkan  batas deteksi adalah 2,27 μg/mL. Batas kuantisasi adalah konsentrasi sampel terkecil yang dapat dikuantisasi secara cermat dan seksama. Batas kuantisasi untuk artemisinin diperoleh 7,57 μg/mL.

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar sampel yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persentase perolehan kembali analit yang ditambahkan. Penentuan kecermatan dilakukan dengan metode simulasi (spiked placebo recovery) yaitu dengan menggunakan sampel simulasi yang telah diketahui kadarnya. Hasil yang diperoleh harus sesuai dengan persyaratan untuk konsentrasi sampel dalam matriks ≥ 1% yaitu dengan  persen perolehan kembali 98,0 � 102%. Hasil uji kecermatan diperoleh nilai perolehan kembali 99,77 � 1,48% pada penambahan artemisinin 10, 15, dan 20 ug/mL pelarut asetonitril-air (6 : 4) seperti ditunjukkan pada  Tabel  4.3.


Gambar 4.2  Kurva kalibrasi larutan artemisin

Tabel 4.3  Hasil Pengujian Kecermatan

Kadar Artemisinin (μg/mL) Perolehan Kembali (%)
101,55
10 98,07
99,35
100,49
15 97,92
100,46
101,87
20 98,26
99,99
Rataan 99,77
SB 1,475
SBR (%) 1,48

 

Penetapan kadar artemisinin dalam sampel simplisia daun Artemisia annua L. dan ekstraknya dihitung dengan  menggunakan persamaan garis yang diperoleh dari kurva kalibrasi baku artemisinin (y = 0,6224x + 3.1204). Hasil penetapan kadar artemisinin dalam sampel simplisia daun Artemisia annua L. dan ekstrak daun Artemisia annua L.(A dan B) secara KCKT dirangkum dalam Tabel 4.4 yaitu masing-masing kadar artemisinin dalam sampel simplisia diperoleh (0,53 � 0,41) mg dari 125 g, sampel ekstrak A kadar artemisinin diperoleh (4,87 � 0,51) μg dari 1000 μg isolat, dan  sampel ekstrak B   diperoleh kadar artemisinin  (25,94 � 1,10) μg dari 500 μg isolat. Hasil kromatogram dapat dilihat pada Gambar 4.3; 4.4; dan 4.5.

Tabel 4.4  Hasil pengujian kadar artemisinin dalam simplisia daun Artemisia annua L. dan ekstrak daun Artemisia annua L.

Sampel * Kadar artemisinin

rataan

SB SBR (%)
Simplisia 0,53 mg/g 0,0025 0,41
Ekstrak A 4,87 μg/mg 2,50 0,51
Ekstrak B 25,94 μg/mg 0,59 1,10

Keterangan :       * ) =   hasil dari 3 pengukuran

SB  =   Simpangan Baku

SBR =   Simpangan Baku RelatifGaGaGa

Gambar  4.3  Kromatogram sampel simplisia daun Artemisia annua L. dengan volume  penyuntikan 20 μL, laju alir 1,2 mL/menit, komposisi fase gerak asetonitril : air (60 : 40).


Gambar 4.4  Kromatogram sampel (A) ekstrak daun Artemisia annua L. dengan volume injek 20 μL, laju alir 1,2 mL/menit, komposisi  fase gerak asetonitril : air (60 : 40).

Gambar 4.5  Kromatogram sampel (B) ekstrak daun Artemisia annua L. dengan volume injek 20 μL, laju alir 1,2 mL/menit, komposisi fase gerak asetonitril : air (60 : 40).

V.  KESIMPULAN DAN ALUR SELANJUTNYA

5.1  Kesimpulan

Penentuan artemisinin dalam simplisia daun Artemisia annua L. dan  ekstraknya telah berhasil  dikembangkan metode analisisnya dengan kromatografi cair kinerja tingggi (KCKT) menggunakan fase gerak asetonitril-air (60 : 40) pada laju alir 1,2 mL/menit, dengan volume sampel yang diinjekkan 20 μL. Kolom yang digunakan adalah kolom ZORBAX ODS (C-18)  dengan ukuran partikel 5 μm, panjang kolom 250 mm dengan diameter 4,6 mm, suhu oven kolom dijaga 40�C, menggunakan detektor UV-Vis dengan panjang gelombang  deteksi (ג) 216 nm, dan waktu retensi 8,488 menit.

Konsentrasi artemisinin pada rentang 5,0 sampai 30 μg/mL menunjukkan hubungan yang linier terhadap luas puncak kromatogram dengan persamaan regresi y = 0,6224x + 3.1204 dengan koefisien korelasi (r) = 0.9952, dan koefisien variansi fungsi regresi (Vx0) = 4.32%. Perolehan kembali artemisinin adalah 99,77 � 1.48% pada penambahan artemisinin 10, 15, dan 20  μg/g  dengan batas deteksi  2,27 μg/mL dan batas kuantisasi 7,57 μg/mL.

5.2    Alur  Selanjutnya

Untuk dapat menganalisis senyawa artesunat dan artemeter yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak daun  Artemisia annua L. perlu pengembangan sistem KCKT lain dengan mengacu pada metode yang telah dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ferreira, F.S. and Janick,J., 1996, Distribution of artemisinin in Artemisia annua,  p. 579-584, In: Janick, J. (ed.), Progress in new cropa. ASHS Press, Arlington,VA., 1-9.

Ibrahim S., 1998, Pengembangan Metode Analisis Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Seminar on HPLC Aplication for Analysis of Drug, Food and Envoment, Bandung, 1-22.

Ibrahim S., 2001, Penggunaan Statistik dalam Validasi Metode Analitik dan Penerapannya, Dalam prosiding temu ilmiah nasional bidang farmasi, VI-15

Ibrahim S., 2005, Berbagai Pendekatan Pengujian Kelinieran Kurva Baku pada Metode Analisis Instrumental, Acta Pharmaceutica Indonesia, 30(1), ITB, Bandung, 30-34.

Ibrahim S., 2004, Berbagai Pendekatan pada Penaksiran Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi Suatu Metode Analisis Instrumental, Acta Pharmaceutica Indonesia, 29(4),   ITB, Bandung, 153-159.

Johnson, E.L. and Stevenson, R., 1991, Dasar Kromatografi Cair, terjemahan Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 654-664, 687-706.

Miller, J.C. dan Miller, J.N., 1991, Statistika untuk Kimia Analitik, ed. 2, terjemahan Suroso, ITB, Bandung, 52-54.

Peter Griffee, 2006, Artemisia annua L., Crop plant, Medicinal plant, Collaboration with WHO.

Pharmacopoeia of the People�s Republic of China, (English Edition 2000), Compailed by The Pharmacopoeia Commission of RRC, Chemical Industry Press, Vol.II, Beijing China, 46-47.

Snyder L. R., J.L. Glajch and J.J. Kirkland, Practical HPLC Method Development, John Willey & Sons, New York, 1997.

Swartz M.E and Ira S. Krull, 1997, Analitical Method Development and Validation, Marcel Dekker, Inc, New York, 26-74.

The International Pharmacopeia, 2006, 4th ed, Word Health Organization, Geneva,  198-205.


Was This Post Helpful:

0 votes, 0 avg. rating

Share:

admin pppptk

Leave a Comment